Connect with us

Bisnis

Bos Sritex Mengklaim Menggunakan Pinjaman untuk Modal Kerja, Ternyata Digunakan untuk Membeli Tanah

Dibujuk oleh janji pertumbuhan operasional, skandal penyalahgunaan pinjaman CEO Sritex menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan nasib sebenarnya dari dana tersebut. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

pinjaman disalahgunakan untuk pembelian tanah

Dalam apa yang tampaknya merupakan pelanggaran kepercayaan yang signifikan, Iwan Setiawan Lukminto, mantan CEO PT Sritex, diduga menyalahgunakan lebih dari Rp692 miliar pinjaman yang diperuntukkan untuk modal kerja dari Bank DKI dan Bank BJB. Pinjaman tersebut, yang terdiri dari Rp543 miliar dari Bank BJB dan Rp149 miliar dari Bank DKI, secara khusus ditujukan untuk menutup biaya operasional.

Namun, alih-alih mengalihkan dana tersebut ke kegiatan perusahaan yang diperlukan, Lukminto mengalihkan dana tersebut untuk melunasi utang dan berinvestasi dalam aset tidak produktif seperti tanah di Yogyakarta dan Solo.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang etika korporasi dan akuntabilitas keuangan di PT Sritex. Jika kita mempertimbangkan prinsip dasar tata kelola perusahaan, menjadi jelas bahwa penyalahgunaan dana yang dimaksudkan untuk pertumbuhan operasional merusak kepercayaan yang diberikan kepada pimpinan.

Sebagai pemimpin bisnis, kita diharapkan untuk menjunjung tinggi standar integritas tertinggi, memastikan bahwa sumber daya digunakan secara bijaksana dan transparan. Dalam kasus ini, tindakan Lukminto tampaknya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar tersebut, yang menyebabkan ketidaksesuaian keuangan yang signifikan dan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp692 miliar.

Saat kita menyelami lebih dalam implikasi dari kasus ini, kita harus menyadari bahwa situasi ini melampaui tanggung jawab individu. Ini mencerminkan masalah sistemik dalam institusi keuangan yang terlibat, termasuk peran para eksekutif bank yang diduga menyetujui penerbitan dan penggunaan kredit yang tidak tepat tersebut.

Kelalaian pengawasan seperti ini tidak hanya membahayakan stabilitas keuangan perusahaan tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Jika kita ingin membangun lingkungan bisnis yang didasarkan pada kebebasan dan kepercayaan, akuntabilitas yang ketat harus ditegakkan di semua tingkat.

Proses hukum saat ini sedang berlangsung, dan hasilnya kemungkinan akan menjadi preseden dalam menangani pelanggaran korporasi di Indonesia. Kita dibiarkan bertanya-tanya berapa banyak kasus lain yang masih tersembunyi, menunggu untuk terungkap.

Bagi mereka yang menghargai standar etika dalam bisnis, kasus ini menjadi pengingat yang keras akan pentingnya kewaspadaan dan akuntabilitas. Ini menegaskan tanggung jawab kolektif kita untuk mendorong praktik transparan dan memastikan bahwa sumber daya keuangan diarahkan ke tujuan yang benar, guna mendorong pertumbuhan dan inovasi daripada memfasilitasi penyalahgunaan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Trending

Copyright © 2025 The Speed News Indonesia